Sabtu, 18 April 2009

bangsaku lebih kejam dr pd para penjajah

BANGSAKU LEBIH KEJAM DARI PARA PENJAJAH

A. “MISKINNYA NEGARAKU”

Aku selalu belajar di sejarah,IPS, B. Indonesia dan lain-lain yang aku pelajari semua ada tentang kaya-nya Negaraku, dari segala sumber daya alam,budaya dan sebagainya, tapi memang benar kenyataanya dari segi fisik tapi sebaliknya bangsanku salah satu Negara yang miskin urutan sepuluh besar diseluruh dunia, “ seandainya itu bukan kenyataan” oh…..negaraku yang secara fisik kaya akan sumber daya alam, budaya dan sebagainya menjadi realitas bagi rakyatnya ???? mungkin tidak akan ada rakyat yang kelaparan , busung lapar, pengangguran yang banyak, angka orang hilang ingatan, bunuh diri karena masalah ekonomi keluarga yang tak kunjung tercukupi , anak –anak putus sekolah tidak ada. Oh..puisi –puisi yang di buat oleh para seniman, orang bijak itu jadi kenyataan????…..maka mereka bahagia.

Dari kutipan kata-kata di atas, realitasnya seperti jalan hidup saya ini :

Saya lahir di dunia ini dari keturunan masyarakat yang kurang mampu,sampai masa kecil kakak-kakak dan saya harus di habiskan bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Dari umur 8 tahun saya harus mencari nafkah untuk biaya sekolah sendiri, dari tahun ketahun waktu saya lewati dengan cepat sampailah masuk smp, tapi tetap di selang waktu sekolah aku tetap bekerja sambil menunggu waktu masuk sekolah. Dan mulai dari itu pemikiranku tambah dewasa dan kritis terhadap lingkungan sekitar maupun sekolah. Karena saya mau jadi orang yang berpendidikan tinggi dan ingin merubah pandangan bahwa “walaupun orang miskin tapi bisa tetap sekolah”. Kenapa???? Sebab dilingkungan saya banyak masyarakat yang tidak mampu untuk bersekolah karena tidakk ada biaya, dan mereka berfikir “ lebih baik tidak bersekolah daripada tidak bisa makan”!!!!! dari kutipan kata-kata itu hati saya terasa iba pada rakyat Indonesia. Oh…tuhan yang maha kuasa dan maha kasih selamatkanlah bangsaku dari ketidak berdayaan ini. Apakah ini salah rakyat, apa pemerintah ?????? hanya orang pintar dan berpendidikan tinggi serta yang tahu tapi berpura-pura tidak tahu, berpura-pura peduli tapi tak peduli.

Dari hal itulah aku berpandangan bahwa” betapa keras nya kehidupan hidup di bangsaku”

“Megapa aku menulis judul tulisan ini degan” BANGSAKU LEBIH KEJAM DARI PARA PENJAJAH” karena aku yakin kata-kata dari seorang bapak Negara, seorang pendiri Negara ini tidak mengada-ngada dan kenyataan. Menjelang akhir hayatnya ia berkata kepada seorang sahabatnya” Kejamnya bangsaku, Negara yang aku dirikan kenapa menghukumku sendiri” dari kutipan kata-kata itu memang benar dari kenyataan, seharusnya sebagai bangsa yang besar harus menghargai pengorbanan dan perjuangan seorang pahlawan, tapi sebaliknya bangsa kita sendiri, “suatu ucapan yang sangat bagus bagi seseorang yang telah mempersembahkan seluruh hidupnya kepangkuan tanah airnya, orang yang 13 tahun lamanya meringkuk dalam penjara dan pembuangan, karena ia mengabdi pada cita-cita bangsa, kalau tidak sependapat dia djadikan seperti seekor tikus? Jatungku berhenti berdenyut ketika surat itu datang ditanganku. Ia mengakhiri suratya dengan mengatakan, bahwa ia telah berusaha bahwa soekarno telah mendapat perlakuan buruk, dan selama 6 tahun beiau tidak tidur karena memikirkan bangsa dan tanah air ini, beliau bisa tidur hanya terus-menerus diberi obat tidur, sungguh kejam bangsaku.

Dengan kesimpang siuran sejarah dan fakta yang dibaut oleh para petinggi-petinggi Negara saat itu dan secara besar-bsaran dan terang –terangan membodohi rakyat yang memang masih bodoh, karena keadaan ekonomi yang melarat. Dari kutipan diatas tadi bahwa bagsaku sangat kejam.

Sampai saat ini negeri ku bagaikan negeri orang lain????mengapa?, seorang anak bangsa, pribumi Indonesia diperlakukan seperti warga Negara asing, sedangkan warga Negara yang berharta dan mempunyai jabatan tinggi diperlakukan seperti seorang raja dan permaisuri dan plus diberi senyuman yang ramah, perlakuan special, padahal kami juga mempunyai hak yang sama di hadapan Negara. Mungkin Negara kita sudah berubah haluan untuk warga Negara yang berharta dan mempunyai jabatan akan medapat pelayanan yang special bagian raja dan permaisuri, andaikan aturan itu benar ada, kami sebagai warga Negara jelata akan menerima dan tidak merasa kecewa karena aturannya sudah ada, tapi sebaliknya didalam undang-undang dasar bahwa kita dimata Negara kita itu sama dalam hak maupun kewajiban.” Kejamnya bangsaku?????

Dalam keadaan politik yang makin murat-marit dan sikaya makin kaya dan si miskin makin miskin, serta akhlak bangsa menurun drastis seperti harga minyak dunia sekarang, moral berpolitik amburadul, yang halal diharamkan dan yang haram dihalalkan itulah kenyataan yang ada di lapangan sekarang, tapi dalam aturan yang tertulis yang diberikan kepada warga oleh para pemimpin maupun ulama yang tidak berlaku bagi diri mereka (pemimpin dan ulama”???”)itu sebaliknya yang haram harus diharamkan dan halal harus dihalalkan.

AWAL abad ke-19 bagi pemerintah kolonial Belanda merupakan tahun-tahun ketidakpastian. Seperti pada masa-masa lalu, rakyat atau penduduk hidup dalam penderitaan, antara lain karena banyaknya pajak atau cukai, seperti pajak tanah, pengawang-awang (halaman), cukai gendhongan, dan jembatan. Selain itu ada pungutan yang dalam bahasa Belanda disebut contingenten (pajak in natura atau dalam bentuk barang) dan verplichte leverantie (setoran wajib).

KECUALI itu, pada zaman Gubernur Jenderal van der Capellen (1819-1826) ada kebijakan tentang tanah yang memberatkan, baik bagi bangsawan maupun petani. Penjelasannya, tahun 1818 pemerintah kolonial memperbolehkan para bangsawan, khususnya dari Yogyakarta, menyewakan tanahnya kepada pengusaha swasta untuk perkebunan, misalnya tebu untuk gula, dan tembakau. Perkebunan swasta amat maju sehingga meraup banyak untung.

Van der Capellen tidak senang. Maka, pada tahun 1823 dia mengeluarkan larangan sewa tanah kepada swasta. Para bangsawan pemilik tanah mengalami kesukaran karena harus mengembalikan uang sewa, yang sudah dibelanjakan, termasuk yang diperuntukkan bagi petani penggarap.

Masalah lain yang menyangkut tradisi adalah hak-hak yang kontradiktif antara budaya Jawa dan Belanda. Salah satunya adalah tata cara bertamu dan berbusana, minum-minum, dan berbusana militer Barat. Hal itu kurang memenuhi selera Diponegoro. Ada pendapat keraton aliran progresif, grup Diponegoro protradisi Jawa konservatif.

Sejauh ini belum ada pemicunya. Dan, itu baru muncul bersamaan dengan munculnya kasus tanah milik Diponegoro, tahun 1825. Pada tahun 1825 pemerintah kolonial bermaksud membangun jalan raya (bukan kereta api) Yogyakarta-Magelang, melewati tanah Diponegoro.

Belanda melakukan kesalahan karena tidak minta izin dari yang berhak lebih dulu. Maka, terjadilah sengketa yang ujungnya perang, yang meletus pada 20 Juli 1825. Itulah yang biasa disebut cassus belli, yang dalam bahasa Indonesia biasa disebut "sebab khusus" atau "sebab langsung". Dengan begitu bukan saja rakyat, tetapi juga Diponegoro yang bangsawan, yang mengalami ketidakadilan.

Jadilah segala lapisan masyarakat merasakan ketidakadilan kolonial akibat ulah pemerintah kolonial. Berbagai faktor ketidakadilan memerlukan jalan keluar dan peranglah yang ditemukan.

Gerakan menuntut keadilan

Akumulasi ketidakadilan mendorong rakyat bersikap menunggu datangnya pemimpin yang mempunyai tradisi pemerintahan dan keprajuritan. Pemimpin yang ditunggu itulah Pangeran Diponegoro, bangsawan yang dekat dengan rakyat, ditandai antara lain dengan kegiatan pengajian bersama rakyat dan berbusana hitam-hitam (lambang hidup sederhana).

Diponegoro tidak merasa yakin untuk memimpin gerakan rakyat sebagai langkah yang benar. Maka, Diponegoro perlu maneges (mohon petunjuk Allah).

Ada dua kasus (langkah) yang dapat saya kemukakan: a) mohon restu dari Ratu Kidul; b) mohon restu dari Sultan Agung.

Perihal mohon restu dari Ratu Kidul, Diponegoro sendiri yang menemui Ratu Kidul di Goa Secang, kawasan Parangtritis, Pantai Selatan Yogyakarta. Permohonan restu Diponegoro dikabulkan. Sebagai tanda, Ratu Kidul memberi tombak bernama Aswatarman, yang semula milik Aswatama, putra Pendeta Drona dalam zaman wayang purwa. Dengan senjata berujud tombak itu Diponegoro mendapat apa yang disebut sipat kandel (wasiat) dalam budaya Jawa.

Permohonan restu Diponegoro dari Sultan Agung dilakukan dengan mengirim utusan ke makam Sultan Agung. Utusan itu masuk ke makam (cungkup). Ketika utusan hendak memasuki makam, ia melihat tabirnya putih bersih. Lalu, ketika ia hendak meninggalkan makam, ia melihat tabir itu terubah terkena bercak-bercak darah.

Kedua peristiwa itu mengisyaratkan akan keharusan Diponegoro memimpin perlawanan dengan senjata (kekerasan) dan berdarah. Padahal, Diponegoro belum pernah terlibat dalam pertempuran atau perang sesungguhnya.

Perlawanan Diponegoro

Pada awalnya Diponegoro unggul, hal itu ditandai dengan bergabungnya sejumlah tokoh seperti Pangeran Mangkubumi, Sentot Prawiradirja, dan Kiai Maja. Pernah juga 70 bangsawan bergabung meski kemudian meninggalkannya.

Daerah operasinya juga meluas, di barat sampai Kroya-Tegal dan di timur sampai Madiun. Sampai tahun 1827, Diponegoro ada di pihak yang unggul. Tetapi, pada tahun itu juga keunggulan Diponegoro menurun, antara lain karena ditinggalkan saudara dan sahabat-sahabatnya, seperti Kiai Maja, Mangkubumi, dan Sentot.

Dalam usahanya menggalang persatuan dan kekuatan, Diponegoro pernah menobatkan diri menjadi raja dengan gelar Sultan Abdulhamid Herucakra Amirulmukminin Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa.

Semula Diponegoro tidak berkeinginan menjadi raja. Tetapi, karena lawannya adalah raja dan jenderal, maka supaya seimbang penobatannya sebagai raja menjadi perlu. Dengan demikian, pengikutnya menjadi mantap. Hal itu juga terlihat dalam peristiwa-peristiwa konflik yang di antaranya menghasilkan raja-raja seperti Surapati, Trunajaya, Pangeran Puger (kelak Paku Buwono I) dan Pangeran Mangkubumi (kelak Hamengku Buwono I).

Dalam kasus Diponegoro, ia pun menobatkan diri dan menjadi raja dengan gelar yang sudah disebut di depan. Penobatannya menjadi raja membuat Diponegoro mbalela (membelot) dan dianggap memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta. Maka, Diponegoro harus ditangkap.

Penangkapan Diponegoro

Pada tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro ditangkap di Magelang dan dibuang ke Manado, lalu dipindahkan ke Makassar sampai wafatnya pada 8 Januari 1855.

Siapa yang bertanggung jawab atas penangkapan Diponegoro? Bukan sekadar pengkhianatan De Kock yang mendorong kita berpendapat De Kock-lah yang bertanggung jawab atas penangkapan Diponegoro. Ada petunjuk lain yang mendukung. Hal itu dibuktikan dengan adanya surat perintah tertulis rahasia De Kock kepada Kolonel Du Perron dan Mayor Michiels untuk menangkap Diponegoro bila tindakan paksaan diperlukan.

Atas dasar sportivitas, siapa yang kalah mengikuti yang menang, Diponegoro tanpa kehendak melawan, mengikuti putusan pemerintah kolonial, yaitu dibuang. Ia hanya minta kalau meninggal jenazahnya dimakamkan di Yogyakarta, dekat saudaranya. Hal itu terbukti tidak dikabulkan.

Dua versi "Babad Diponegoro"

Diponegoro dengan kepasrahannya dibuang ke Manado, lalu ke Makassar (Ujung Pandang). Selama dalam pembuangan Diponegoro sempat menulis kisahnya sendiri, Babad Diponegoro.

Selain itu, ada babad lain yang ditulis oleh Bupati Purworejo, Babad Purworejo atau Babad Kedungkebo (Desa Kedungkebo masih ada sekarang di selatan Purworejo). Yang menarik perhatian Diponegoro dan Bupati Purworejo, yang bernama Cakranegara, adalah murid seorang kiai. Dalam perang Diponegoro atau perang Jawa, Bupati Cakranegara pro-Belanda. Namun, dalam babad yang ditulisnya, Cakranegara memuji kepiawaian "sahabatnya" itu.

Kejengkelan Diponegoro

Dalam pengakuan dirinya sebagai raja, Diponegoro ingin agar De Kock menyapanya dengan sebutan raja, sultan, atau koning, karena Diponegoro telah menobatkan diri menjadi raja. Tetapi, De Kock hanya menyapa dengan sebutan pangeran atau de prijns. Putra Diponegoro-lah yang disapa dengan pangeran.

Memang di Yogyakarta yang bergelar raja adalah Hamengku Buwono V. Dalam pandangan Kesultanan Yogyakarta, Diponegoro adalah mbalela (pengkhianat atau pemberontak).

Sifat kesatria Diponegoro

Dalam diri Diponegoro ada sifat kesatria. Dalam bahasa lain, Diponegoro mempunyai sportivitas dan keberanian. Pertama, keberaniannya menegur De Kock karena ia tidak mau menyapa Diponegoro sebagai raja, yaitu Sultan Abdulhamid Herucakra.

Kedua, keberaniannya memikul tanggung jawab atas berlangsungnya perang Jawa. Karena itu, katanya, kalau ada yang harus dihukum atau dibunuh, dialah orangnya. Prajurit Jawa hanya menjalankan perintahnya.

Ketiga, di Magelang, 28 Maret 1830 di gedung keresidenan, Diponegoro bersanding dengan De Kock. Di tempat itu Diponegoro berpeluang menusukkan kerisnya kepada De Kock. Tetapi, pikiran itu dibuang karena perbuatan semacam itu nista, tidak kesatria.

Empat, sportivitas Diponegoro juga tampak pada kepasrahannya kepada yang menang, seperti telah disebut dalam paragraf lain. Karena Diponegoro kalah, ia pasrah mengikuti kehendak yang menang.

Dari uraian di atas kita dapat menarik kesimpulan, Diponegoro memiliki talenta kepemimpinan, baik sipil maupun militer. Namun, daya serang De Kock lebih piawai.

Demikianlah beberapa catatan yang dapat menyegarkan pengetahuan kita tentang Diponegoro. Bila pembaca ingin lebih mendalaminya, silakan membaca karya P Swantoro, Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu (2002), khususnya bab tujuh dan delapan. Serta buku Saleh As’ad Djamhari, Strategi Menjinakkan Dipanegara Stelsel Benteng, 1827-1830.

Ini baru masih, AWALNYA NTAR TERUSANNYA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

siapapun yang ingin bergabung dengan Nepasta Social Comunity adalah hanya Alumni SLTPN 1 PAKEM Tangerang saja dari semua angkatan dan umum